Syawalan Tradisi Turun Temurun Keturunan Sunan Gunung Jati

Syawalan Tradisi Turun Temurun Keturunan Sunan Gunung Jati

 

Syawalan Gunung Jati merupakan tradisi ziarah pada bulan syawal setelah Idul Fitri ke makam Sunan Gunung Jati. Pada bulan ini, masyarakat Cirebon biasa melakukan ziarah dan tahlilan di makam Sunan Gunung Jati Cirebon. Setiap Syawalan biasanya tempat ziarah makam Sunan Gunung Jati dipenuhi para peziarah hampir dari semua daerah Cirebon dan daerah lain di sekitarnya. Tradisi yang dinamakan syawalan ini telah berlangsung selama ratusan tahun yang lalu dan selain untuk menghormati Sunan Gunung Jati para peziarah datang ke makam ini untuk mengharapkan berkah yang melimpah.

Sejak pagi hingga siang hari ribuan warga silih berganti mendatangi komplek Makam Sunan Gunung Jati yang terletak di Istana Agung, Cirebon. Mereka datang secara berombongan untuk melakukan ziarah kubur yang jatuh pada 7 Syawal atau yang lazim disebut Syawalan atau yang lebih familiar disebut grebeg syawal. Mereka datang dari berbagai kota di Pulau Jawa. Selain warga masyarakat, para kerabat dan keturunan Sunan Gunung Jati dari Keraton Kanoman juga melakukan ziarah. Tradisi ini sudah dilakukan semejak Sunan Gunung Jati atau Syeih Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1568. Selain untuk menghormati jasa Sunan Gunung Jati sebagai ulama penyebar agama Islam di Jawa, para peziarah juga berharap mendapat barokah setelah berziarah.

Para peziarah umumnya membawa kembang 7 rupa yang dicampur uang receh. Kembang tersebut dilemparkan ke pintu utama Makam Sunan Gunung Jati yang disebut Lawang Gede. Sebagai bentuk pengharapan barokah, para peziarah lalu mengambil kembali bunga tersebut untuk dibawa pulang. Sementara uang receh dikumpulkan pengurus makam untuk biaya perawatan dan pembangunan sarana di Komplek Makam Gunung Jati.

Kegiatan yang dimulai pukul 6.00 WIB, Sultan Kanoman beserta keluarga dan kerabat berkumpul di Pendopo Djinem. Setelah itu bersama-sama menuju pemakaman Sunan Gunung Jati. Tradisi ini dilakukan tanpa prosesi khusus, hanya ziarah keluarga ke makam karuhun Sunan Gunung Jati. Dahulu tradisi Syawalan dilakukan dengan kendaraan gajah dan kuda. Diikuti masyarakat di belakangnya dengan berjalan kaki menuju makam Sunan Gunung Jati, yang jaraknya enam kilometer dari Keraton Kanoman.

Di Gunung Jati, Sultan beserta rombongan menuju ke Gedong Gusti, tempat dimakamkannya Sunan Gunung Jati. Untuk masuk ke sana sultan harus melewati beberapa pintu. Pintu pertama Pengantin, lalu Beling, Dalem, Pasujudan, Pandan, Gapura Candi Bentar, Kaca Bacem, dan terakhir Jinem.

Di depan makam, Sultan membaca tahlil dan mengirimkan doa serta Al-Fatihah kepada Sunan Gunung Jati dan waliyullah lain. Sekitar dua jam sultan berdoa. Begitu selesai, keluar dan menyawer uang logam yang diperebutkan masyarakat.

Nasi dan lauk pauk sengaja dibawa dari Keraton dalam jumlah banyak diperuntukkan bagi masyarakat yang menghadiri acara itu. Setelah acara makan-makan, sebelum kembali ke Keraton, Sultan memanjatkan doa diikuti masyarakat.

Tradisi Syawalan sudah berlangsung ratusan tahun hingga kini masih memiliki daya tarik, terutama bagi masyarakat pedesaan. Harapan mereka agar memperoleh berkah dari Allah, keselamatan, dan rezeki yang dimudahkan.